Pada bulan Desember 2024, berbagai isu hangat berkembang di wilayah Kepri, mulai dari masalah pengelolaan tata ruang dan mafia lahan, hingga upaya pembentukan Provinsi Tapanuli. Diskusi-diskusi ini menunjukkan kompleksitas permasalahan yang melibatkan banyak pihak dan berkaitan dengan tata kelola sumber daya alam dan kebijakan daerah. Salah satu yang menjadi sorotan adalah tindakan Sat Pol PP yang mengeluarkan Surat Peringatan (SP) pertama kepada pemilik bangunan yang diduga berdiri di atas lahan yang termasuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sei Langkai, Batam.
Isu terkait pengelolaan lahan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam juga menjadi topik hangat. BP Batam diduga terlibat dalam kontroversi seputar pengalihan dan pencabutan hak lahan yang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat. Beberapa laporan menunjukkan adanya dugaan praktik mafia lahan yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengatur pemanfaatan lahan di Batam. Tindakan pencabutan hak atas tanah yang dilakukan oleh BP Batam mendapat kritik keras dari warga dan sejumlah pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut.
Selain masalah lahan, sejumlah warga Batam juga mengungkapkan keluhan mereka terhadap kinerja Wali Kota Batam yang juga menjabat sebagai Kepala BP Batam. Kinerja pemerintah yang dianggap kurang efektif dalam menjalankan fungsi tata kelola lahan menjadi bahan diskusi serius, khususnya terkait dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi di Batam. Berita-berita yang beredar pun mengungkapkan bahwa sejumlah investor mulai ragu untuk menanamkan modalnya di Batam, terutama akibat ketidakpastian hukum yang menyelimuti pemilikan lahan.
Sementara itu, di sisi lain, sejumlah tokoh masyarakat dan politisi seperti Dr. R.E. Nainggolan masih terus memperjuangkan pembentukan Provinsi Tapanuli, yang dianggap sebagai langkah penting untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengelolaan wilayah di bagian utara Sumatera tersebut. Pada tahun 2024, komunitas Masyarakat Tapanuli Raya (KOMTAR) kembali menghidupkan semangat perjuangan ini dengan menggandeng berbagai pihak untuk mendukung percepatan pembentukan provinsi tersebut.
Di tengah perdebatan politik dan sosial yang berkembang, peringatan dari Komisi VI DPR RI terkait kebijakan BP Batam juga menjadi sorotan penting. DPR mendesak adanya moratorium terkait pengalokasian dan pemetaan lahan di BP Batam hingga pejabat Wali Kota yang terpilih dapat dilantik, untuk memastikan pengelolaan yang lebih transparan dan akuntabel. Ini mencerminkan adanya ketegangan antara kewenangan pemerintah daerah dengan aspirasi masyarakat yang mendesak adanya perubahan dalam pengelolaan tanah dan kebijakan pembangunan di Batam.
Salah satu insiden yang memunculkan kekecewaan publik adalah adanya dugaan pemaksaan terhadap pengusaha tanah untuk mencabut gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan pembatalan perjanjian secara sepihak. Hal ini mengundang perhatian banyak pihak, yang menduga adanya praktek intimidasi dan pemerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang memiliki pengaruh kuat dalam proses perizinan dan pengelolaan lahan di Batam.
Sementara itu, di sektor lingkungan, ketua Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL) Kepri, Para Siregar, turut menyoroti masalah kebersihan sungai dan lingkungan di sekitar Batam. Isu lingkungan semakin relevan di tengah kesibukan pembangunan infrastruktur yang masif, yang jika tidak dikelola dengan baik, bisa merusak ekosistem dan kualitas hidup warga. Gerakan komunitas seperti ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki kualitas lingkungan di Kepri.
Polemik mengenai pengelolaan tanah dan kebijakan BP Batam semakin membingungkan publik ketika berita tentang mafia lahan yang melibatkan PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) muncul. Berita tersebut mengungkapkan dugaan penguasaan lahan yang dicabut oleh BP Batam dengan cara-cara yang tidak sesuai prosedur. Laporan-laporan seperti ini mengundang banyak pertanyaan mengenai siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas ketidakberesan dalam pengelolaan aset negara ini.
Dalam situasi ini, masyarakat Batam dan Kepri menanti jawaban tegas dari pemerintah pusat mengenai siapa yang lebih kuat dalam menangani praktik-praktik ilegal ini, apakah KPK dan Polri ataukah oknum-oknum yang memiliki kekuatan besar dalam dunia bisnis dan pemerintahan. Kejadian ini semakin memperburuk citra BP Batam sebagai lembaga yang seharusnya menjalankan fungsi pengelolaan tanah dan properti dengan transparansi dan akuntabilitas.
Dinamika ini semakin diperburuk dengan adanya isu-isu politik lokal, di mana masyarakat mulai mempertanyakan keberpihakan para pemimpin daerah terhadap kepentingan publik, terutama terkait hak atas tanah dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Tidak sedikit yang mengkritik langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Batam yang dianggap lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu daripada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam perkembangan terakhir, isu ini semakin terangkat setelah beberapa pihak menyuarakan kekecewaan mereka terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Wali Kota Batam yang juga menjabat sebagai Kepala BP Batam. Mereka merasa bahwa kebijakan yang ada saat ini menguntungkan segelintir orang dan merugikan banyak pihak, khususnya warga Batam yang tergantung pada kebijakan pengelolaan lahan yang lebih adil dan transparan.
Seiring dengan maraknya perbincangan mengenai mafia lahan, komunitas-komunitas lokal seperti PWKI PAC Tanjung Morawa turut menunjukkan partisipasi aktif dalam mendukung perubahan sosial yang lebih positif, termasuk mendorong terbentuknya provinsi baru di Tapanuli. Melalui kegiatan-kegiatan seperti perayaan Natal yang diadakan oleh PWKI, mereka berharap bisa lebih mendekatkan masyarakat pada agenda sosial yang lebih inklusif dan bergotong royong.
Ketegangan yang terjadi di Batam dan Kepri ini mencerminkan ketidakpastian politik dan sosial yang masih membayangi proses pembangunan daerah. Dalam waktu yang akan datang, perubahan kebijakan dan pengelolaan yang lebih transparan akan menjadi hal yang sangat dinanti oleh masyarakat. Diharapkan dengan dukungan berbagai pihak, masalah tata kelola lahan dan kebijakan pembangunan dapat segera menemukan solusi yang lebih baik.
0 Comments
Terimakasih