PARDOMUANSITANGGANG.COM - Dalam acara diskusi pendidikan yang dihadiri oleh berbagai pihak, seorang narasumber mengemukakan pentingnya pendidikan dalam membentuk karakter bangsa. Ia menekankan bahwa pendidikan di Indonesia harus mengacu pada definisi yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 3. Pendidikan, menurutnya, merupakan usaha yang sistematis, terstruktur, terukur, dan terorganisir untuk mengembangkan potensi anak-anak Indonesia menjadi pribadi yang demokratis dan bertanggung jawab.
Lebih lanjut, narasumber menegaskan bahwa pendidikan memiliki tugas mulia, yaitu menciptakan individu yang bertanggung jawab. Ia memberikan contoh konkret bahwa setiap peran dalam masyarakat, baik sebagai suami, guru, anggota DPR, atau gubernur, menuntut tanggung jawab. "Tanggung jawab adalah hal yang termahal dalam hidup ini, dan sebaik-baik manusia adalah yang dapat memegang tanggung jawab," ujarnya.Di Indonesia, pengembangan potensi anak-anak hanya dapat dicapai melalui empat pilar utama, yakni: iman dan takwa, akhlak mulia, kesehatan jasmani dan rohani, serta kreativitas dan inovasi. Iman dan takwa menjadi dasar utama bagi setiap individu untuk dapat bertanggung jawab dalam kehidupan. "Tidak ada orang Indonesia yang bisa bertanggung jawab jika tidak beriman dan bertakwa," tegasnya.
Selain itu, akhlak mulia menjadi fokus dalam pendidikan. Ia mengkritik praktik pendidikan yang tidak mengutamakan integritas, seperti mengajari murid untuk berbohong demi meningkatkan nilai. Pendidikan yang baik, katanya, harus mengutamakan nilai moral yang baik.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya fisik yang sehat dalam pendidikan. Sekolah harus menjadi tempat untuk melatih kesehatan jasmani dan rohani, yang tercermin melalui kegiatan olahraga di sekolah. Terakhir, pendidikan harus mencetak anak-anak yang kreatif, berilmu, dan inovatif, yang dapat berkontribusi untuk kemajuan bangsa.
Pernyataan ini mengingatkan kita akan esensi pendidikan yang bukan hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter yang kuat, sehat, dan bertanggung jawab.
Pendidikan sebagai Pilar Utama dalam Pembentukan Karakter Bangsa
Dalam sebuah diskusi yang mengangkat tema pentingnya pendidikan dalam membentuk karakter bangsa, seorang narasumber mengingatkan bahwa pendidikan memiliki tugas mulia untuk mencetak individu yang memiliki empat kualitas utama: iman dan takwa, akhlak mulia, kesehatan jasmani dan rohani, serta kreativitas dan inovasi. Ia menyoroti kondisi pendidikan saat ini yang dianggap masih jauh dari tujuan tersebut, terutama dalam aspek iman takwa dan akhlak mulia.
Ia menilai bahwa saat ini, banyak tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai akhlak mulia, seperti praktik menipu dalam ujian nasional. "Apakah ini yang disebut akhlak mulia? Mengajarkan murid untuk berbohong agar bisa lulus ujian?" ujar narasumber tersebut. Ia mengkritik keras praktik-praktik yang tidak sesuai dengan nilai moral yang seharusnya diajarkan dalam pendidikan.
Menurutnya, pendidikan yang sejati harus memanusiakan manusia, bukan hanya memberikan pengetahuan semata. "Pendidikan harus mengajarkan iman takwa, akhlak mulia, kesehatan jasmani dan rohani, serta kreativitas," tambahnya. Dalam konteks ini, ia menjelaskan bahwa pendidikan tidak hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan instansi pemerintah.
Pentingnya teladan dalam dunia pendidikan juga menjadi sorotan utama. Narasumber menyatakan bahwa pendidikan yang baik harus dimulai dari teladan yang baik. Ia mengutip contoh dari Korea Selatan, di mana para pejabat negara, termasuk menteri, diharuskan menjadi teladan bagi masyarakat. "Di Korea Selatan, jika seorang menteri tidak bisa bangun jam 4 pagi, berolahraga, dan mengurus keluarga, maka ia tidak layak menjadi menteri," ungkapnya. Hal ini menunjukkan bahwa menteri di Korea Selatan berperan sebagai guru yang memberikan contoh kepada masyarakat, termasuk dalam hal kedisiplinan dan kesehatan.
Ia juga mengingatkan bahwa pendidikan pertama kali dimulai di keluarga, dengan ibu sebagai guru pertama bagi anak-anaknya. "Madrasah pertama bagi anak adalah keluarga. Jika pendidikan di keluarga ini tidak berjalan dengan baik, maka jangan harap pendidikan di tempat lain akan berhasil," tuturnya.
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa pendidikan yang efektif tidak hanya tergantung pada institusi formal, tetapi juga pada peran keluarga dan masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai dasar yang akan membentuk karakter anak-anak bangsa.
Reformasi Pendidikan Indonesia Diperlukan untuk Membangun Bangsa yang Kuat
Dalam sebuah diskusi yang mengangkat topik reformasi pendidikan di Indonesia, seorang narasumber mengungkapkan kekhawatirannya terhadap arah pendidikan di negara ini dan mendesak untuk segera dilakukan perubahan fundamental. Menurutnya, jika pendidikan di Indonesia terus berjalan dengan cara yang sama, bangsa ini tidak akan maju dan berpotensi menghadapi kerusakan lebih lanjut. "Kita harus rombak pendidikan ini. Kita bicara dari keluarga, instansi, dan sekolah," ujarnya, seraya menekankan bahwa perubahan tersebut harus dimulai dari tingkat yang paling dasar, yaitu teladan dari para pemimpin.
Narasumber menilai bahwa setiap institusi pendidikan harus dipimpin oleh contoh teladan yang baik. Ia mengambil contoh kepemimpinan di berbagai lembaga, seperti kepolisian dan kementerian, yang harus mencerminkan pendidikan melalui sikap dan tindakan mereka. "Jika Kapolri tidak menunjukkan model yang baik, atau Mendikbud tidak memberikan teladan yang tepat, bagaimana bisa pendidikan berjalan dengan baik?" ujarnya. Menurutnya, menteri, kepala sekolah, dan pemimpin pendidikan lainnya harus mempraktikkan nilai-nilai yang mereka ajarkan kepada masyarakat.
Ia juga mengkritik pendekatan pendidikan saat ini yang lebih fokus pada pembelajaran teknis yang tidak sesuai dengan kebutuhan karakter bangsa. "Kita bukan hanya mengajarkan matematika sejak TK, tetapi kita juga harus membangun karakter," tegasnya. Ia menganggap bahwa pendidikan harus mampu membentuk individu yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga baik dalam sikap dan perilaku.
Lebih lanjut, narasumber mengingatkan bahwa sistem penilaian atau evaluasi di sekolah menjadi titik lemah yang harus diperbaiki. "Kalau kita hancurkan penilaian di sekolah, maka bangsa ini juga akan hancur," kata narasumber tersebut. Ia menyoroti pentingnya objektivitas dalam penilaian, di mana guru harus berani memberikan penilaian yang jujur, bahkan jika seorang siswa pintar namun tidak memiliki akhlak yang baik. "Berani tidak Bapak dan Ibu mengatakan, kalau akhlakmu tidak baik, kamu tidak boleh lulus dari sekolah ini?" ujarnya, menekankan bahwa pendidikan harus mengajarkan nilai moral yang kuat.
Dalam diskusi tersebut, narasumber juga menyampaikan keyakinannya bahwa meskipun saat ini pendidikan Indonesia menghadapi banyak tantangan, masih ada harapan besar untuk masa depan. "Saya sangat mencintai bangsa ini dan saya tetap optimis. Namun, kita harus segera melakukan perubahan di sektor pendidikan," ungkapnya.
Pernyataan ini mengingatkan kita akan pentingnya peran pendidikan dalam membentuk karakter bangsa. Pendidikan bukan hanya soal mengajarkan pengetahuan, tetapi juga tentang membangun pribadi yang berintegritas, bertanggung jawab, dan berakhlak mulia.
Pendidikan Indonesia Harus Utamakan Akhlak dan Objektivitas dalam Penilaian
Dalam sebuah diskusi pendidikan yang berlangsung di Surabaya, seorang narasumber menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya pendidikan yang menekankan akhlak mulia dan objektivitas dalam penilaian. Ia menuturkan bahwa seorang siswa, meskipun pintar secara akademis, tidak boleh lulus jika akhlaknya buruk. "Kamu memang pintar, nak, kami akui kamu hebat, tapi akhlakmu tak bagus. Karena itu, kau tak boleh tamat dari sekolah ini kalau akhlakmu tidak kau perbaiki," ujarnya. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pendidikan yang sesungguhnya tidak hanya fokus pada ilmu pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan karakter yang baik.
Narasumber juga mengungkapkan bahwa pendidikan harus dimulai dengan penekanan pada iman, takwa, dan akhlak mulia, baru kemudian ilmu pengetahuan dan keterampilan. "Pendidikan itu satu, iman, takwa, akhlak mulia, sehat jasmani rohani, baru bicara ilmu pengetahuan dan keterampilan. Itu urutannya," tambahnya. Menurutnya, jika sistem pendidikan di Indonesia mengedepankan nilai-nilai ini, maka akan ada harapan besar untuk masa depan bangsa, termasuk pada tahun 2045, saat Indonesia merayakan usia kemerdekaannya yang ke-100.
Ia juga mengkritik sistem penilaian di sekolah yang selama ini masih bersifat subjektif dan tidak objektif. "Guru harus berani mengatakan kepada murid, ‘Nilaimu empat, kamu harus belajar lagi,’" ujarnya, seraya menekankan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang bisa dibuat oleh guru, tetapi ditentukan oleh usaha dan perilaku murid itu sendiri. "Guru hanya mengadministrasi dan mencatat nilai. Muridlah yang membuat nilainya sendiri," katanya.
Lebih lanjut, narasumber tersebut menekankan bahwa penilaian yang adil dan objektif harus dilakukan tanpa memihak, dan orang tua juga harus memahami hal ini. "Jika ada orang tua yang tidak paham, panggil kepala sekolah, jelaskan bahwa guru tidak membuat nilai, anak merekalah yang menentukan nilai mereka sendiri," ujarnya.
Pernyataan ini menjadi seruan untuk mengubah sistem penilaian di sekolah, agar lebih fokus pada pembentukan karakter dan perilaku siswa, bukan hanya prestasi akademis. Dengan perubahan ini, diharapkan pendidikan di Indonesia dapat lebih mendalam dan menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia.
Peran Guru dalam Pendidikan dan Pengabdian untuk Masyarakat
Dalam sebuah diskusi tentang pentingnya peran guru dalam pendidikan, seorang narasumber menekankan bahwa tugas guru lebih dari sekadar mengajar materi pelajaran. Menurutnya, guru memiliki peran yang sangat mulia, bahkan lebih dari malaikat, karena mereka bertugas mencatat kebaikan dan keburukan siswa. "Guru ini memiliki tiket ke surga karena mereka diberi tugas yang luar biasa—mencatat kebaikan dan keburukan murid, seperti malaikat yang mencatat amal manusia," ujar narasumber tersebut. Ia menggambarkan pekerjaan guru sebagai pengganti tugas nabi, yang merupakan pekerjaan yang sangat mulia dalam pandangan agama.
Narasumber juga mengungkapkan pentingnya kejujuran dan ketegasan dalam mendidik siswa. Ia menyampaikan bahwa guru harus berani memberi penilaian yang objektif, meskipun hal tersebut bisa jadi tidak mudah diterima oleh siswa atau orang tua. "Berani mengatakan nilai empat pada murid, itu bukan mudah, tapi itu yang harus dilakukan untuk kebaikan mereka," tegasnya. Ia menekankan bahwa penilaian yang jujur harus dilakukan agar siswa tahu di mana mereka harus memperbaiki diri.
Selain itu, narasumber mengingatkan bahwa dalam pandangan agama dan fikih, berjuang untuk kehidupan bukan hanya tentang memperoleh kekayaan, tetapi juga tentang bagaimana kita mengabdikan diri pada jalur yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi. "Tujuan hidup bukan hanya untuk menjadi kaya, tapi bagaimana kita tekuni jalur yang benar," jelasnya. Ia mengutip ajaran dari para sahabat Nabi yang menyebutkan bahwa ada berbagai jalan untuk berjuang, termasuk melalui ilmu dan pengabdian kepada masyarakat.
Ia juga menyoroti pandangan yang terlalu pragmatis dalam masyarakat yang sering menganggap hanya orang kaya yang dihormati dan dianggap sukses. "Orang yang mengabdikan diri di masjid, meskipun tidak kaya, juga sangat mulia karena mereka konsisten dalam perjuangannya," katanya, memberikan contoh orang-orang yang tidak mengejar kekayaan tetapi berjuang dalam jalur yang mereka yakini benar, seperti guru dan pengurus masjid.
Dengan penekanan pada pendidikan yang berakar pada nilai moral dan kejujuran, narasumber mengajak semua pihak, terutama para pendidik, untuk tetap berpegang pada prinsip tersebut, meskipun tantangan dan godaan materi selalu ada. "Bersama-sama, kita bangun pendidikan yang tidak hanya menghasilkan orang-orang cerdas, tetapi juga berakhlak mulia dan punya tujuan hidup yang jelas," tutupnya.
Pentingnya Mendidik Sikap Sejak Dini dalam Dunia Pendidikan
Dalam sebuah diskusi mengenai pendidikan yang berlangsung, seorang narasumber menegaskan bahwa pendidikan yang sesungguhnya tidak hanya berfokus pada pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan sikap yang baik. Ia mengungkapkan bahwa terlambat mendidik sikap bisa berakibat fatal, dan sekali sikap seseorang terbentuk, akan sangat sulit untuk diubah. "Jika terlambat mendidik sikap, bagaimana pun tidak bisa lagi dididik," katanya, menggambarkan betapa pentingnya memberikan pendidikan karakter sejak dini.
Narasumber ini juga menyoroti betapa sulitnya mengubah sikap seseorang yang sudah berumur, seperti anggota dewan atau orang dewasa yang sudah terbiasa dengan kebiasaan tertentu. "Terlambat, kita tidak bisa mendidik orang berusia 50 tahun, mereka tidak bisa diubah," ujarnya, menegaskan bahwa pendidikan sikap harus dimulai sejak usia muda agar hasilnya bisa optimal.
Ia juga mengingatkan para pendidik untuk tidak terlalu fokus pada pengajaran materi yang tidak relevan dan tidak berguna, karena itu hanya akan membuang waktu dan tenaga. "Jangan terlalu jor-joran mengajarkan pengetahuan yang lapuk dan tidak berguna. Cobalah mengajarkan sikap yang baik," katanya. Pendidikan karakter yang mengajarkan nilai-nilai moral dan sosial yang kuat lebih penting daripada sekadar memberikan pengetahuan yang hanya berlaku sementara.
Dalam penjelasannya, narasumber juga menggambarkan bagaimana seorang guru yang mengajarkan dengan sepenuh hati dapat menciptakan hubungan yang kuat dengan muridnya. "Murid-murid akan merasa sedih ketika tidak bertemu dengan gurunya, karena mereka merasa dihargai dan dididik dengan tulus," ujar narasumber tersebut. Ia menekankan bahwa seorang guru yang mengajar dengan hati akan dapat membangun rasa hormat dan kasih sayang dari murid-muridnya.
Dengan penuh semangat, narasumber ini mengingatkan para pendidik untuk terus memberikan contoh yang baik dan mengajarkan nilai-nilai yang akan bermanfaat bagi masa depan bangsa. "Jangan terlambat mendidik sikap, karena itu akan sangat mempengaruhi generasi mendatang," ujarnya, menyerukan agar pendidikan karakter menjadi prioritas dalam dunia pendidikan.
Pembentukan Sikap dan Pentingnya Kurikulum dalam Pendidikan
Dalam sebuah diskusi mengenai pendidikan, narasumber mengungkapkan bahwa 80% dari proses pendidikan di tingkat sekolah dasar (SD) sebenarnya berkaitan dengan pembentukan sikap, sementara pengetahuan yang diberikan hanyalah sedikit. "Pengetahuan yang kalian ajarkan di SD itu nanti tak akan berlaku, kecuali ilmu yang sangat mendasar," jelas narasumber. Hal ini menunjukkan pentingnya mendidik sikap dan karakter yang lebih dari sekadar materi akademik yang diajarkan di kelas.
Narasumber menekankan bahwa pendidikan di tingkat dasar harus lebih mengutamakan pembentukan sikap baik yang akan mendasari karakter siswa seiring berjalannya waktu. Dalam hal ini, penanaman nilai-nilai moral dan sosial menjadi kunci, sedangkan pengetahuan teknis akan lebih ditekankan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Berbicara tentang kurikulum, narasumber juga menyinggung pentingnya tafsiran dan pemahaman guru terhadap kurikulum itu sendiri. "Kurikulum yang terbaik itu adalah guru itu sendiri," katanya, menekankan bahwa meskipun ada perubahan menteri atau kurikulum, yang terpenting adalah bagaimana guru memahami dan menerapkan kurikulum tersebut. Menurutnya, seorang guru harus bisa beradaptasi dengan perubahan dan mampu menafsirkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan konteks yang ada.
Narasumber memberikan contoh mengenai kurikulum mata pelajaran ekonomi di Madrasah, yang dapat disesuaikan dengan konteks lokal dan regional. "Mungkinkah kita merubah kurikulum ekonomi di Madrasah?" tanyanya, menjelaskan bahwa konten dalam kurikulum bisa berbeda berdasarkan konteks nasional, lokal, hingga regional, seperti misalnya pada tingkat ASEAN. "Contoh-contoh yang diambil bisa lebih kontekstual," tambahnya, menunjukkan pentingnya relevansi materi dengan kondisi yang ada.
Selain itu, narasumber juga menekankan pentingnya pemahaman yang mendalam dari guru dalam mengajarkan setiap mata pelajaran. Ia menegaskan bahwa proses pendidikan yang baik adalah yang mengutamakan pemahaman dan pengaplikasian ilmu dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya teori yang jauh dari realitas.
Dengan semangat yang tinggi, narasumber ini mengajak para pendidik untuk berinovasi dalam mengajarkan kurikulum, serta untuk selalu memahami konteks dan kebutuhan siswa, agar pendidikan yang diberikan benar-benar bermakna dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Tantangan Pendidikan di Era Digital dan Semangat untuk Kebangkitan
Pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menghadapi perkembangan zaman, terutama dalam mengoptimalkan penggunaan teknologi di sekolah-sekolah. Salah satu isu utama yang diangkat adalah pentingnya membangkitkan semangat bersama di kalangan pendidik dan alumni untuk menciptakan perubahan positif. Narasumber menegaskan bahwa pendidikan yang baik tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus melibatkan kerjasama antara guru, kepala sekolah, dan seluruh masyarakat pendidikan. "Bisa, Pak, kalau kita ramai-ramai bangkitnya," ujarnya. Dengan lebih dari 3 juta guru di Indonesia, ditambah dengan 320.000 dosen, semangat kolektif dapat membawa perubahan signifikan.
Namun, tantangan terbesar datang dari kurangnya semangat kebersamaan di antara para pendidik. "Kalau sendiri-sendiri bangkit, enggak bisa, Pak," tegas narasumber. Hal ini mengingatkan bahwa dalam dunia pendidikan, seperti dalam sepak bola, setiap elemen harus bergerak bersama untuk mencapai tujuan yang sama. Menurutnya, pendidikan harus dilihat sebagai sebuah tim yang bekerja sama dan saling mendukung.
Narasumber juga mengangkat isu mengenai teknologi, terutama dalam penggunaan gadget di kalangan anak-anak Indonesia. "Guru pertama dari seluruh generasi Indonesia sekarang adalah gadget, bukan lagi orang tua atau guru," ujar narasumber. Fenomena ini terlihat jelas di banyak keluarga, di mana saat makan di restoran, anak-anak lebih sibuk dengan gadget mereka, sementara orang tua juga tidak jauh berbeda. "Semua sibuk dengan gadget, syukur-syukur ada yang belajar," tambahnya.
Sayangnya, riset menunjukkan bahwa penggunaan gadget oleh anak-anak Indonesia lebih banyak digunakan untuk hiburan seperti bermain game dan chatting, bukan untuk belajar. Hal ini mengindikasikan adanya ketidaksesuaian dalam pemanfaatan teknologi sebagai alat belajar. Narasumber menilai bahwa ini adalah masalah besar, mengingat di tangan mereka terdapat potensi besar untuk belajar melalui teknologi.Menghadapi situasi ini, narasumber menekankan pentingnya perubahan dalam cara kita mendidik generasi muda. "Kenapa anak-anak Indonesia tidak menggunakan handphone sebagai alat belajar? Ada yang salah," ungkapnya. Menurutnya, tantangan ini harus ditelusuri secara mendalam untuk menemukan solusi yang tepat agar teknologi bisa menjadi sarana pendidikan yang efektif.
Dengan semangat kebersamaan dan pemanfaatan teknologi yang bijak, narasumber percaya bahwa pendidikan di Indonesia bisa bangkit dan berkembang lebih baik, asalkan ada kesadaran kolektif untuk melakukan perubahan.
Tantangan Teknologi dalam Pendidikan dan Peran Orang Tua
Hasil penelitian dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengungkapkan bahwa jika teknologi berkembang lebih cepat daripada pendidikan, yang terjadi adalah kesulitan, kerusuhan sosial, dan penderitaan. Peneliti menegaskan, seharusnya pendidikan mendahului teknologi. "Bila teknologi mendahului pendidikan, maka yang terjadi adalah masalah," ujar narasumber, mengingatkan pentingnya Indonesia untuk lebih dulu mempersiapkan pendidikan yang relevan sebelum kemajuan teknologi datang. "Kenapa kita tidak mengajarkan tentang handphone dan teknologi 20 tahun yang lalu?" tambahnya. Menurutnya, pendidikan seharusnya lebih dulu mengantisipasi perkembangan teknologi, seperti halnya pendidikan tentang media sosial yang harus sudah ada di kurikulum sejak dua dekade lalu.
Namun, sayangnya, Indonesia sering terlambat dalam mengadopsi kebijakan yang dapat mengatasi dampak negatif dari perkembangan teknologi. Salah satunya adalah kebijakan terkait pembatasan akses ke situs-situs tertentu, seperti yang diterapkan di India. "Kalian tahu, di Indonesia, anak-anak bisa mengakses film biru dan konten berbahaya lainnya hanya dengan membuka handphone," ujar narasumber, yang menilai bahwa pembatasan akses semacam itu sangat diperlukan untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif teknologi.Kebijakan ini, menurut narasumber, seharusnya sudah ada sejak lama di Indonesia. "Pertanyaannya, kapan kebijakan ini akan ada di Indonesia?" tanyanya. Ia juga menyoroti pentingnya perubahan perilaku masyarakat, khususnya orang tua, dalam menghadapi era digital ini. Ia mengungkapkan bahwa banyak orang tua di Indonesia yang justru bangga memberikan handphone canggih kepada anak-anak mereka, tanpa mempertimbangkan dampak dari pemberian tersebut. "Orang tua kita bangga memberikan iPhone kepada anak-anak, padahal seharusnya handphone hanya digunakan untuk komunikasi, bukan untuk hiburan yang merugikan," ungkapnya.
Selain itu, narasumber juga mengkritisi rendahnya kesadaran orang tua dalam membatasi penggunaan handphone anak-anak. "Berapa persen orang tua yang membatasi penggunaan handphone hanya pada waktu-waktu tertentu? Misalnya, hanya boleh digunakan untuk komunikasi sampai jam malam, setelah itu harus belajar. Apakah ada orang tua seperti itu?" tanyanya. Sayangnya, menurut narasumber, kesadaran seperti itu masih sangat jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagai solusi, narasumber menekankan bahwa pendidikan yang lebih baik dan kebijakan yang lebih ketat mengenai penggunaan teknologi sangat diperlukan agar generasi mendatang tidak terjebak dalam dunia digital yang merugikan. Ke depan, menurutnya, Indonesia harus mulai serius untuk mengantisipasi perkembangan teknologi dengan merancang kebijakan pendidikan yang lebih relevan dan bijak.
Pentingnya Pengaturan Waktu Tidur dan Penggunaan Gadget pada Anak
Pendidikan tentang pentingnya tidur dan penggunaan gadget pada anak-anak kini menjadi perhatian serius. Dalam sebuah diskusi, narasumber mengungkapkan bahwa jam tidur yang ideal bagi anak adalah antara jam 9 malam hingga jam 11 malam. "Tidur itu bukan hanya sekedar istirahat, tapi juga penting untuk proses antioksidan dan penghilangan racun dalam tubuh," ujarnya. Sayangnya, menurut narasumber, banyak orang tua yang tidak memahami hal ini dan membiarkan anak mereka tidur larut malam, bahkan ada yang masih merokok hingga tengah malam.
"Nah, coba bayangkan berapa persen orang tua yang membatasi penggunaan gadget anak-anak mereka, atau bahkan mengatur waktu tidur mereka? Hampir tidak ada," tambahnya. Menurutnya, orang tua sering kali tidak memahami dampak buruk dari kebiasaan tidur yang terlambat dan penggunaan gadget yang berlebihan.
Masalah ini semakin rumit ketika tidak ada kebijakan yang jelas di tingkat lokal mengenai jam belajar. "Berapa banyak kabupaten atau kota di Indonesia yang sudah menetapkan jam belajar yang harus diikuti oleh anak-anak? Contohnya, di Medan, seharusnya ada kewajiban belajar sampai jam 9 malam, tapi kenyataannya tidak ada," ujar narasumber. Ia menekankan pentingnya peran orang tua dalam membatasi pengaruh gadget pada anak-anak.
Untuk itu, ia mendukung penuh langkah-langkah yang dapat membatasi penggunaan gadget untuk anak-anak, terutama yang masih di bawah umur. "Pemerintah harus segera membuat kebijakan yang membatasi situs-situs yang bisa diakses oleh anak-anak. Kalau tidak, kita hanya akan membiarkan mereka terpengaruh oleh hal-hal yang tidak mendidik," katanya dengan tegas.Narasumber juga menyoroti perbedaan cara orang tua memperlakukan anak di Medan, khususnya di kalangan keluarga yang lebih mampu. "Seringkali, rasa sayang orang tua itu malah menghancurkan. Anak-anak dimanjakan dengan segala permintaan mereka, padahal itu bisa merusak masa depan mereka," tegasnya. Menurutnya, orang tua harus lebih bijak dalam memberikan pengaruh positif kepada anak-anak mereka, terutama dalam hal penggunaan teknologi.
Ia mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam membatasi dampak negatif dari penggunaan gadget yang berlebihan dan memastikan anak-anak mendapatkan pendidikan yang tepat. "Kita bisa berubah dan mengatasi pengaruh buruk ini jika kita semua bersatu," ujarnya, mengakhiri diskusi dengan penuh harapan.
0 Comments
Terimakasih