Bahasa Daerah dan Pelestariannya: Upaya Marga dalam Mempertahankan Bahasa Ibu

PARDOMUANSITANGGANG.COM - 3 Juni 2025, Bahasa adalah cermin budaya. Ia bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga wahana pewarisan nilai, tradisi, dan identitas suatu kelompok masyarakat. Di Indonesia yang kaya akan keragaman suku bangsa, bahasa daerah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kekayaan budaya. Namun, dalam realitas hari ini, banyak bahasa daerah yang mulai terpinggirkan, bahkan terancam punah, karena semakin dominannya penggunaan bahasa nasional dan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks ini, punguan marga memiliki tanggung jawab strategis dalam menjaga eksistensi bahasa daerah. Sebagai wadah kekeluargaan yang berbasis adat dan kekerabatan, punguan bukan hanya pelindung silsilah atau tarombo, tetapi juga penjaga budaya tutur yang diwariskan secara turun-temurun. Artikel ini akan mengulas bagaimana peran marga dalam mempertahankan bahasa daerah serta berbagai upaya pelestarian yang bisa dilakukan di tengah perubahan zaman.


1. Bahasa Daerah sebagai Warisan Tak Tertulis

Bahasa daerah tidak hanya menyimpan kosakata, tetapi juga memuat kearifan lokal, ungkapan perasaan, struktur sosial, dan pola pikir leluhur. Dalam komunitas marga, bahasa digunakan dalam banyak konteks adat: mulai dari martonggo raja (rapat adat), mangulosi (pemberian ulos), marsipature hutana be (gotong royong), hingga dalam ungkapan doa dan puji-pujian (tangiang). Bahasa menjadi kendaraan utama untuk memahami struktur budaya itu sendiri.

Oleh karena itu, saat bahasa mulai ditinggalkan, maka yang hilang bukan hanya kata-kata, tetapi juga seluruh warisan pemikiran yang menyertainya.


2. Tantangan dalam Pelestarian Bahasa Daerah

Ada beberapa tantangan utama yang menyebabkan bahasa daerah tergerus, di antaranya:

  • Urbanisasi dan Mobilitas Tinggi
    Banyak anggota marga yang merantau dan menetap di kota besar atau luar negeri, di mana bahasa nasional atau bahasa asing lebih dominan digunakan.

  • Dominasi Bahasa Indonesia dan Globalisasi
    Sistem pendidikan formal, media massa, dan teknologi banyak menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa global, sehingga anak-anak lebih terbiasa dengan bahasa tersebut.

  • Kurangnya Pewarisan dari Orang Tua ke Anak
    Banyak keluarga muda yang tidak lagi menggunakan bahasa daerah di rumah, khawatir anaknya kesulitan beradaptasi dengan bahasa nasional atau mengalami kebingungan linguistik.


3. Peran Punguan Marga dalam Menjaga Bahasa Daerah

Punguan marga dapat menjadi motor penggerak utama dalam mempertahankan bahasa daerah melalui pendekatan berbasis komunitas. Berikut beberapa peran strategis yang dapat dijalankan:

a. Penggunaan Bahasa Daerah dalam Setiap Kegiatan Punguan

Kegiatan rutin punguan, seperti rapat keluarga besar, arisan, pesta adat, atau perayaan hari besar, bisa menjadi ruang untuk terus menggunakan bahasa daerah. Bahkan, pidato-pidato resmi, doa, dan sambutan bisa diawali atau disisipkan dalam bahasa ibu.

b. Pelatihan Bahasa untuk Generasi Muda

Punguan dapat menginisiasi program belajar bahasa daerah, baik secara formal seperti kelas daring/luring, maupun informal seperti permainan bahasa, kuis kosakata, atau lomba pidato adat. Ini bisa menjadi kegiatan menarik dan edukatif, sekaligus membangun kebanggaan berbahasa.

c. Penerbitan Buku dan Media Berbahasa Daerah

Marga-marga yang memiliki sumber daya lebih bisa mendukung penerbitan buku cerita rakyat, kamus istilah adat, atau materi pembelajaran sederhana dalam bahasa daerah. Media sosial punguan juga bisa diisi dengan konten berbahasa ibu agar tetap relevan dengan generasi digital.

d. Dokumentasi dan Digitalisasi Bahasa

Mengumpulkan dan mendokumentasikan ungkapan khas, istilah adat, atau cerita dalam bahasa daerah dari para sesepuh adalah langkah penting sebelum pengetahuan tersebut hilang. Dokumentasi ini bisa berupa rekaman audio, video, atau teks yang dikumpulkan dalam arsip digital punguan.


4. Membudayakan Sikap Bangga Berbahasa Daerah

Salah satu kunci pelestarian bahasa adalah menumbuhkan rasa bangga menggunakan bahasa daerah, bukan malah merasa rendah diri. Punguan marga bisa menjadi pelopor perubahan sikap ini dengan mendorong anggotanya – khususnya generasi muda – untuk memahami bahwa bahasa daerah bukanlah beban, tetapi warisan intelektual yang harus dijaga.

Budaya saling menyapa dalam bahasa daerah, menggunakan bahasa ibu di panggung hiburan atau acara santai, hingga menyematkan nama dalam bahasa lokal pada acara punguan, semua adalah bentuk nyata membudayakan kebanggaan itu.


5. Kolaborasi antar-Marga dan Antar-Generasi

Pelestarian bahasa tidak dapat berjalan sendiri. Kolaborasi antar punguan dari marga berbeda dalam satu etnis bisa memperkuat daya jangkau program pelestarian. Misalnya, mengadakan festival budaya bersama, seminar tentang bahasa daerah, atau lomba menulis dalam bahasa ibu.

Selain itu, kerja sama lintas generasi juga sangat penting. Kaum muda bisa membantu mendigitalisasi atau memviralkan konten berbahasa daerah, sementara para sesepuh berperan sebagai sumber utama pengetahuan dan pelurusan makna-makna tradisional.



Bahasa daerah adalah jiwa dari identitas sebuah marga. Ia menghubungkan masa lalu dengan masa kini, menyampaikan nilai luhur leluhur, dan menjadi perekat antaranggota komunitas yang tersebar luas. Punguan marga memiliki posisi strategis dalam menjaga kelangsungan bahasa daerah, baik melalui praktik harian, kegiatan kolektif, maupun edukasi antargenerasi.

Dalam dunia yang terus berubah dan cenderung seragam secara budaya, mempertahankan bahasa ibu adalah bentuk perlawanan yang elegan sekaligus bukti cinta pada warisan nenek moyang. Punguan marga yang sadar akan nilai ini akan terus hidup – bukan hanya sebagai organisasi sosial, tetapi sebagai benteng budaya yang kokoh dan bermartabat.

Post a Comment

0 Comments