Polemik Penandatanganan Prasasti Tugu Raja Sitanggang, Komunitas Berdiskusi Demi Kesepakatan Bersama

Tanggal & Lokasi: 13 Februari 2025, Jakarta & Medan

Komunitas Punguan Raja Sitanggang tengah membahas secara intensif mengenai siapa yang berhak menandatangani prasasti peresmian Tugu Raja Sitanggang. Diskusi ini berlangsung melalui berbagai perbincangan di antara anggota komunitas yang tersebar di berbagai daerah, terutama Jakarta dan Medan. Perdebatan ini berangkat dari tradisi serta tata cara adat Batak dalam meresmikan monumen atau tugu keluarga.

Beberapa anggota komunitas menyoroti bahwa bangunan milik swasta sering kali mendapatkan tanda tangan dari pejabat daerah seperti wali kota, bupati, atau gubernur sebagai bentuk pengakuan resmi. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa tugu bukanlah bangunan publik, melainkan simbol kekerabatan marga, sehingga cukup hanya ditandatangani oleh Ketua Umum Punguan Raja Sitanggang.

Sejumlah tokoh dalam diskusi ini menyampaikan bahwa persatuan lebih penting daripada perbedaan pandangan. Beberapa usulan mengemuka, seperti cukup Ketua Umum yang menandatangani, sementara kepala daerah hadir sebagai perwakilan pemerintah setempat. Hal ini diyakini dapat menjaga keseimbangan antara pengakuan pemerintah dan keluhuran adat Batak.

Perbedaan pendapat juga muncul mengenai jumlah kelompok marga (sohe) yang ada dalam komunitas Sitanggang. Beberapa anggota komunitas menyebut empat sohe utama, sementara yang lain menyatakan bahwa saat ini terdapat enam sohe. Perbedaan ini menunjukkan adanya dinamika dalam sejarah dan perkembangan marga Sitanggang yang terus berkembang.

Selain polemik penandatanganan prasasti, pembahasan juga menyentuh pada teknis pelaksanaan peresmian tugu, termasuk tata cara adat yang harus dijalankan, seperti gondang sabangunan dan penyembelihan kerbau sebagai bagian dari ritual budaya Batak. Hal ini menunjukkan pentingnya menjaga nilai-nilai budaya dalam setiap langkah yang diambil.

Di sisi lain, diskusi juga diwarnai dengan apresiasi terhadap berbagai pihak yang telah memberikan donasi untuk pembangunan tugu. Banyak anggota komunitas menyampaikan rasa terima kasih atas sumbangan yang telah diberikan, baik dari individu maupun kelompok, sebagai bentuk dukungan terhadap keberlangsungan pembangunan ini.

Namun, ada pula kekhawatiran bahwa perbedaan pendapat yang terus berkembang dapat menimbulkan perpecahan di dalam komunitas. Beberapa peserta diskusi menekankan pentingnya mengambil keputusan berdasarkan musyawarah mufakat dan bukan berdasarkan ambisi pribadi.

Beberapa peserta juga mengusulkan agar prasasti tidak hanya mencantumkan tanda tangan Ketua Umum, tetapi juga menyertakan nama-nama tokoh yang berjasa dalam pembangunan tugu, termasuk arsitek dan donatur utama. Ini bertujuan agar seluruh pihak yang berkontribusi mendapat pengakuan yang layak.

Di akhir diskusi, muncul kesepakatan sementara bahwa Ketua Umum Punguan Raja Sitanggang akan menjadi perwakilan utama dalam penandatanganan prasasti, sedangkan kepala daerah akan hadir sebagai bentuk penghormatan dan legitimasi. Kesepakatan ini diyakini dapat menjadi jalan tengah yang mengakomodasi berbagai aspirasi yang berkembang di dalam komunitas.

Meskipun masih ada beberapa perbedaan pendapat, diskusi ini menunjukkan semangat persatuan dan kebersamaan yang kuat di antara keturunan Raja Sitanggang. Mereka berharap bahwa keputusan yang diambil dapat membawa manfaat bagi seluruh anggota komunitas dan menjaga kehormatan leluhur mereka.

Dengan semangat gotong royong dan kebersamaan, komunitas ini berkomitmen untuk menyelesaikan segala perbedaan dengan bijak, sehingga peresmian Tugu Raja Sitanggang dapat berlangsung dengan sukses dan penuh kehormatan.

Post a Comment

0 Comments